Kasih Sayang Landasan dalam Dakwah

Sahabat-sahabat

Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa suatu waktu ada seorang wanita Bani Israil yang sehari-hari melacurkan diri, sangat kehausan di padang pasir. Perjalanannya mengantarkan ia ke sebuah oase yang sudah mulai mengering. Dengan sepatunya, ia berusaha mengambil air dari oase tersebut untuk di minumnya. Ketika air sudah didapatkan, tiba-tiba datang seekor anjing yang menjulurkan lidahnya tanda sangat kehausan. Dengan penuh rasa iba, wanita tersebut meminumkan air dari sepatunya ke anjing tersebut. Dan ia mati kehausan. Dan Rasulullah Saw berkata: “Bahwa wanita tersebut adalah penghuni surga“.

Kisah ini sangat populer di kalangan kaum muslimin. Banyak kyai, ustadz dan para cendikia mengutip kisah ini dalam ceramah-ceramahnya. Saya pun mencoba untuk meng-artikulasi kisah ini untuk pelajaran kita bersama.

Apa hal yang sangat penting dari kisah tersebut?

Dalam pandangan saya ada 2 hal.

Pertama, bahwa seorang yang dalam hidupnya melakukan kenistaan, menumpuk kesalahan dan dosa, namun seluruh dosa tersebut dapat dengan mudah dibersihkan Allah, jika Allah merahmati (menolong) kita.

Kedua, bahwa sifat kasih sayang adalah sebuah sifat yang paling utama mengundang hadirnya rahmat (pertolongan) Allah Swt kepada kita.

Sahabat-sahabat

Kata kasih sayang sesuatu hal yang sudah jarang kita dengar dalam kajian-kajian Islam. Seakan-akan khazanah tersebut tidak ada dalam ajaran Islam. Padahal ketahuilah bahwa ini adalah “inti” ajaran Ilahiyah.

Lihatlah bagaimana dalam Al-Quran sifat Allah yang paling banyak disebut adalah Ar-Rahman, Allah Maha Pengasih. Dalam buku Cinta Bagai Anggur, seorang syekh dari Turki yang sempat berdakwah di Amerika Serikat, Syekh Mozaffer Ozak berkata: “Jalan agama adalah jalan kasih sayang“.

Kita masih ingat sebuah kisah, bagaimana Rasulullah Saw yang dilempari dengan batu sampai mengucur darah dari kepalanya, ditawari Jibril as, untuk menghancurkan kota tersebut. Namun apa yang dikatakan Rasulullah Saw: “Tidak, jangan wahai jibril. Mereka hanya tidak tahu aku adalah seorang rasul.

Demikian pula kisah seorang Ali r.a yang saat berperang satu lawan satu dengan pedang, ketika pedang sang musuh telah terjatuh, tinggal satu ayunan pedang sang musuh tewas, tiba-tiba sang musuh meludahi wajah Ali. Dan dengan serta merta Ali menghentikan ayunan pedangnya. Sehingga sang musuh bertanya: “Kenapa engkau tidak jadi menebasku wahai Ali?” Ali menjawab: “Aku tidak mau membunuh karena kemarahanku karena engkau meludahi wajahku“.

Apa yang membuat Rasulullah Saw atau Ali ra dapat melakukan itu? Karena sesungguhnya dalam dakwah beliau -bahkan dalam perang sekalipun- yang melandasi adalah rasa kasih sayang. Bukan karena ingin terkenal, bukan karena ingin dipuji, ingin memiliki banyak pengikut, atau karena kebencian. Dan hal ini seharusnya kita tauladani ketika kita ingin menjadi seorang aktifis dakwah.

Sahabat-sahabat

Lihatlah kebanyakan diri kita. Betapa mudahnya kita kesal dan marah, ketika ajakan kita tidak diikuti atau diabaikan. Betawa kecewanya diri kita ketika program-program dakwah kita sepi dari dukungan. Betapa murkanya diri kita ketika kegiatan dakwah kita dicemooh. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa kita melakukan dakwah bukan karena kasih sayang, tetapi karena yang lain.

Memang tidak gampang untuk berkasih sayang. Karena sifat kasih sayang yang sejati, bukan kosmestis dan dibuat-buat, sesungguhnya sebuah sifat yang ditanam oleh Allah sebagai balasan dari iman dan amal shalih kita.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (QS Maryam [19]:96)

Dan bagaimana mungkin dalam hati kita ditanamkan rasa kasih sayang oleh Allah, kalau kita tidak pernah memperhatikan amal-amal kita shalih atau tidak?

Sahabat-sahabat

Amal shalih bukan sekedar amal-amal ritual (mahdoh) atau sedekah. Amal shalih lebih dari sekedar amal baik. Banyak amal baik yang kita lakukan tidak sama sekali shalih.

Sebuah amal akan dikatakan shalih, apabila niat (rasa), pikiran (cipta), sampai dengan amal (karya) semua benar. Dan semua amal, apapun itu, jika dilakukan dengan niat, pikiran dan amal yang benar akan menjadi amal shalih. Persoalannya karena niat dan pikiran tidak kelihatan, kita biasa mengabaikannya.

Contoh saya rajin melakukan shalat di masjid. Jika hal ini tidak didasari oleh niat dan pikiran yang benar, ia tidak sama sekali menjadi amal shalih. Orang-orang akan mengatakan “wah hebat, orang itu shalih, tiap adzan ke masjid“, namun karena niat dan pikirannya salah, di sisi Allah amal tersebut tidak lebih bagaikan debu yang berterbangan. Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan Allah memerintahkan amal tersebut untuk dilemparkan ke wajah orang yang melakukannya, dan dicatat sebagaimana niatnya.

Begitu juga aktifitas-aktifitas dakwah kita. Jika saja tidak dikonstruksi oleh niat dan pikiran yang benar, maka suatu waktu kita akan melihat bahwa ternyata jerih payah kita tidak bernilai di hadapan Allah Swt.

Pentingnya permasalahan niat, sehingga seorang ulama salaf berkata: “kami mempelajari niat, sebagaimana kami mempelajari amal“. Ulama yang lain berkata: “Kami mempelajari niat, sebelum mempelajari amal“.

Sahabat-sahabat.

Ketahuilah, bahwa menyadari kita sangat membutuhkan pertolongan Allah, agar kita dapat dibersihkan dari segala dosa, kita membutuhkan pertolongan Allah agar dilindungi dari segala keburukan diri kita, dan melakukan semua amal atas dasar pengharapan yang besar agar mendapatkan pertolongan Allah tersebut, akan memandu niat dan pikiran kita, agar tidak terkotori oleh yang lainnya.